Semasa masih kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung, Yuri Yogaswara belum mengenal sama sekali tentang adanya jasa konsultasi di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) dan Organisasi. Ia tahu mengenai bidang tersebut dari seorang senior yang sudah lebih dulu masuk DDI (Development Dimensions International).
Saat itu Yuri baru pulang dari sebuah konferensi pemuda, Jugendkonferenz di Braunschweig, Berlin, Jerman. Setelah ngobrol panjang dengan senior tersebut, Yuri merasa tertarik pada dunia Manajemen SDM dan Organisasi.
Yuri melihat bidang ini memiliki daya tarik tersendiri. Selain bidang ini melibatkan “actual people” dengan segala macam karakteristiknya juga tingkat analisis konseptual yang cukup tinggi, Yuri melihat adanya unsur altruistic purpose dalam bidang ini.
“Tidak zero-sum game. Jadi misalnya kita punya tujuh terus kita kasih lima eh malah kita dapat 10,” ujar alumnus Postgraduate Master dari Said Business School, University of Oxford, United Kingdom ini.
Ketika Yuri mulai memasuki bidang ini di Daya Dimensi Indonesia, sebagai junior ia merasa di-uwongke, karena daripada sebuah struktur yang kuat, DDI mementingkan kultur. Semakin mendalami industri itu, ia semakin merasakan ada passion di sana.
“Saya rasa kalau pendekatan ”kultur” ini bisa kita sebar ke lebih banyak orang akan lebih bagus, betul-betul merealisasikan prinsip grow your people – grow your business, gak cuma bicara profit tapi bagaimana pengembangan serta pengelolaan SDM dan organisasi menjadi pendorong utama dari growth perusahaan yang memberikan dampak bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Selain itu, industrinya juga secara relatif lebih ‘bersih’,” tutur Yuri mengingat di tahun 2000 itu Indonesia penuh dengan isu korupsi, katebelece, dan sejenisnya.
Industri yang Bersih
CEO Daya Dimensi Indonesia (DDI) ini merasa kagum pada para pendiri industri yang ia geluti karena memiliki semangat nasionalisme dan profesionalisme yang tinggi dengan berusaha menumbuhkembangkan industri yang bersih.
Yuri lalu bercerita tentang presensi awal DDI di Indonesia yang digawangi oleh Ir. Cacuk Sudarijanto (pernah menjabat Menteri Muda Urusan Restrukturisasi Ekonomi Nasional dan Direktur Utama PT Telkom).
Ir. Cacuk yang mendirikan STT Telkom dan STMB Telkom (cikal bakal Telkom University) ingin memperoleh data tentang top 100, bahkan top 50 talenta kepemimpinan di PT Telkom Indonesia saat itu. Untuk itu kemudian dibangunlah assessment center yang pertama di Indonesia, yaitu di PT Telkom.
Hingga saat ini sudah 22 tahun Yuri berkecimpung di bidang konsultasi manajemen SDM dan organisasi. Sudah banyak institusi yang menjadi pelanggan atau klien DDI (Daya Dimensi Indonesia), antara lain sejumlah BUMN besar, kementerian, lembaga, perusahaan swasta, perusahaan multinasional, family companies, juga partai politik, bahkan lingkaran istana.
Melakukan asesmen menurut Yuri sama seperti tindakan medical check up, dalam bentuk kompetensi. Dengan melihat keunggulan dan kelemahan SDM berdasarkan data, manajemen akan dapat melakukan peningkatan kapasitas SDM lebih lanjut untuk memperkuat kapasitas organisasi secara tepat guna.
Memang, apa yang direkomendasikan assessment center tidak selalu menjadi penentu utama bagi suatu organisasi dalam mengambil keputusan terkait rekrutmen maupun penempatan SDM.
“Karena sukses tidak hanya ditentukan dari faktor kompetensi saja, tapi ada faktor lain yg tak kalah penting, seperti pengalaman lapangan yg signifikan dampaknya terhadap kinerja,” jelasnya.
Meski begitu, faktor kompetensi tetap esensial supaya SDM memiliki keunggulan kompetitif dan value yang jelas.
Talent Management Nasional
Menjelang tahun politik, bila dikaitkan dengan kepemimpinan nasional, menurut Yuri tidak bisa dibilang menggembirakan. Indonesia sebetulnya memiliki banyak orang pintar, tetapi tidak banyak yang mau ambil peran sebagai pemimpin. Banyak tokoh pimpinan, tetapi minim pemimpin, sehingga yang muncul nama yang itu-itu lagi.
Partai politik yang seharusnya melahirkan kader pemimpin publik pun tidak berjalan maksimal, akibatnya vote getter yang paling populer dapat menjadi pemimpin publik, terlepas dari prestasi dan unjuk kinerjanya.
Setelah tahun 2010 memang tampak ada peningkatan dengan munculnya SDM dengan kualitas yang memiliki kompetensi bagus, salah satunya Nadiem Makarim.
Namun, untuk negara dengan lebih 270 juta penduduk, kualitas SDM Indonesia masih menjadi tantangan besar. Itu sebabnya Yuri punya mimpi DDI bisa menjadi advisor presiden. “Saya ingin bawa “people matters” ke level makro,” ujarnya.
Negara Indonesia yang demikian besar, lanjutnya, seharusnya memiliki talent management nasional, jadi setiap ganti kabinet tidak terus-terusan trial and error. Tokoh-tokoh senior seperti Sarwono Kusumaatmadja, Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto, dan Erry Ryana Hardjapamekas bisa menjadi mentor.
“Jadi siapapun presidennya, BKN, LAN, Kemenpan jadi satu mengusulkan orang-orang bagus, jadi gak balik ke nol,” jelas pria yang hobi main piano sambil bernyanyi ini.
Yuri menilai, minimnya pemimpin itu bisa jadi karena values terkait kepemimpinan dan tanggung jawab itu tidak digaungkan sejak dini. Nilai-nilai Pancasila seperti persatuan, musyawarah untuk mufakat, social justice jarang diajarkan kepada anak-anak di zaman sekarang.
Itu sebabnya, Yuri bermimpi suatu saat dapat menyelenggarakan pendidikan dasar yang value based, ada soft skill, sehingga memberi dampak yang jelas terhadap pengembangan SDM.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia pernah punya model pendidikan yang mumpuni, yakni yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara. Keluarga sebagai unit terkecil, ujarnya, harus mengajarkan nilai-nilai kepemimpinan dan tanggung jawab tersebut.
Pengalaman studi di Oxford membuat Yuri memiliki network yang luas. Teman satu kelasnya yang berjumlah sekitar 60 orang berasal dari berbagai negara, sebut saja Brazil, Jepang, India, UK, Amerika Serikat, Singapura, dan lainnya, dan hanya dia yang berasal dari Indonesia.
Yuri bergabung dengan grup studi yang dilaksanakan seusai jam kuliah, yaitu sekitar pukul 19.00 hingga 21.00. Setelah belajar bareng biasanya mereka menyempatkan pergi ke pub.
“Bule-bule kan suka menghibur diri sambil melepas penat dengan ngobrol sambil minum di pub, biasanya sampai tengah malam kita ketawa-ketawa, mungkin ini cara kita bonding. Kami jadi dekat, dari yang tadinya jaim (jaga image-red) terus gak jaim lagi,” cerita Yuri seraya tertawa.
Hingga sekarang hubungan mereka masih dekat, seperti keluarga. Tak jarang mereka melakukan semacam reuni kecil melalui aplikasi Zoom. Teman-temannya itu menekuni bisnis yang berbeda-beda sehingga mereka bisa saling sharing knowledge sesuai kapabilitas masing-masing.
Berkat network juga Yuri kini bisa menggelar berbagai inisiatif (Webinar, summit, debate, dan lain-lain) dengan mengundang para ahli (akademisi, praktisi, ilmuwan, dan lain-lain) dari Oxford University circles sebagai narasumber.