Kisah perjalanan hidup Widy Setiawan mirip dengan cerita perjuangan hidup anak manusia dalam sebuah film atau sinetron. Lahir dari keluarga yang kurang secara ekonomi tidak memadamkan tekad Widy untuk melanjutkan pendidikan.
Melewati berbabagi rintangan, kerja keras, dan semangat pantang menyerah, dia bisa melanjutkan pendidikan hingga bekerja dan kini meraih posisi penting di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Lewat kisah Widy, sekali lagi terbukti sebuah adagium, pendidikan mampu mengeluarkan seseorang dari jerat kemiskinan.
Dalam perbincangan yang hangat dengan Majalah FOKAL, pria kelahiran 1984 ini menuturkan penggalan episode perjalanan hidupnya. “Saya berasal dari salah satu desa di kaki Gunung Sumbing sehingga bisa disebut ndeso. Saya lahir dari keluarga pra sejahtera. Bapak saya adalah sopir yang merantau dan bekerja di Jakarta, sedangkan ibu hanya ibu rumah tangga biasa.”
“Saya menamatkan pendidikan sekolah dasar di desa tersebut. Lalu saya melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) di Kota Purworejo,” ungkap Widy.
Ketika dia SMP, ibunya masih bisa membiayai dengan cara mencari bantuan dari program pemerintah terutama untuk membayar biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) bulanan.
Saat duduk di kelas 3 SMP, Indonesia mengalami krisis moneter 1998. Ibu Widy sudah menyerah. Sang ibu sudah tidak sanggup membiayai sekolahnya hingga menyarankan Widy untuk bekerja saja. Namun, ia bertekad untuk terus melanjutkan pendidikan.
“Demi melanjutkan pendidikan ke SMA, saya berinisiatif sendiri mencari bantuan ke berbagai pihak. Terakhir, saya mendatangi rumah dinas bupati dan bertemu staf bupati. Saya diminta datang ke dinas pendidikan.”
“Saya datang ke dinas pendidikan lalu didata untuk masuk ke dalam jaring pengamanan sosial dan dibantu untuk membayar uang SPP. Waktu itu uang SPP-nya sebesar Rp6000 per bulan,” ungkap Widy.
Lalu untuk biaya hidup sehari-hari, dia menetap di sebuah panti asuhan milik Yayasan Muhammadiyah. Di situ, ia bisa tidur dan makan seadanya dan mengizinkannya untuk sekolah di SMA Negeri 1 Purworejo.
Ketika kelas II, Widy diasuh oleh salah satu anggota Nahdlatul Ulama (NU). Ketika kelas III, Widy ikut tinggal di rumah guru mengajinya, salah satu ulama di Purworejo. Dengan begitu, akhirnya Widy bisa bersekolah hingga lulus SMA.
“Lulus SMA, saya ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah yang gratis tanpa syarat tinggi badan tertentu bagi siswanya. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengikuti tes di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Saya lulus dan diterima di STAN. Di STAN, saya memilih jurusan perpajakan karena saya mengira akan bebas dari studi akuntansi. Ternyata salah, di pajak, justru akutansinya lebih akuntasi daripada orang akuntansi,” papar Widy.
Setelah lulus dari STAN, Widy ditempatkan di Jakarta. Di pajak, pegawai yang hendak kuliah harus bekerja dahulu sekian tahun dan sudah menempati pangkat tertentu.
Dia memperoleh beasiswa dari Kementerian Keuangan untuk meneruskan pendidikan S2 di Universitas Indonesia. Dia kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Setahun kuliah di UI, Widy melanjutkan studi ke luar negeri, di Amerika Serikat. Tidak hanya sekali, Widy mengaku ikut beberapa kali seleksi beasiswa hingga akhirnya lolos.
Culture Shock
Pada Agustus 2022, dia berkesempatan untuk kuliah S2 di Duke University, Sanford School of Public Policy, di Kota Durham, North Carolina, Amerika Serikat. “Awalnya dalam bayangan saya, Kota Durham, merupakan kawasan kota yang penuh gedung tinggi, tapi nyatanya tidak. Tempatnya indah karena masih banyak hutan dan pepohonan yang asri. Kawasannya sangat nyaman sehingga warga lokal terbilang jarang berpergian ke luar wilayahnya,” tuturnya.
Dia tinggal di komplek apartemen tiga lantai yang merupakan bangunan tua dari tahun 1980-an. “Hal paling berkesan, saya bisa melihat kehidupan di AS secara langsung. Orang-orangnya seperti apa dan tentu semuanya merupakan hal yang baru bagi saya. Bicara tentang studi di sana, saya memang belajar sendiri, tapi mendapat dukungan mulai dari sistem pengajaran, para pengajar seperti para profesor dan asisten dosen,” katanya.
Dalam menjalani kehidupan di AS, dia juga merasakan berbagai pengalaman, salah satunya perlakuan rasisme. “Bicara soal rasisme, perlakuan rasis memang ada di sana. Saya kerap dianggap orang China. Saat naik transportasi umum, kalau lagi tak beruntung, kita bisa mendapat perlakuan rasis.”
“Selain itu, meski suasana kotanya relatif tenang, kita masih kerap mendengar suara tembakan. Kalau tidak mendengar suara tembakan selama dua minggu rasanya seperti aneh. Biasanya tengah malam, kita mendengar suara tembakan senjata api. Kalau levelnya parah, keesokan harinya kita melihat jalan ditutup dan polisi membuat police line di suatu tempat, artinya ada di situ ada korban jiwa,” kenang Widy.
Suatu ketika, dia mendapat kesempatan untuk liburan ke kota seperti New York hingga Los Angeles. Mata dan pikirannya seperti terbuka melihat kerasnya kehidupan di sana. Dia mengalami antri lalu disela orang lain, orang yang sengaja tidak bayar untuk naik transportasi umum seperti bus dan subway, hingga melihat orang menggunakan narkotika dan fly di jalanan.
“Dalam hati saya bersyukur tidak kuliah di tempat seperti ini, jika tidak, mungkin saya hanya bisa bertahan satu atau dua bulan saja. Pengalaman saya liburan ke New York maupun Los Angeles, seperti membuat saya tak merindukan Jakarta lagi.”
“Kehidupan Jakarta keras, tapi kehidupan di sana lebih keras. Saya cuma bisa bersyukur, diberi Tuhan pekerjaan, memiliki kehidupan bekerja di kantor lalu pulang kembali ke rumah,” ungkap ayah dari empat orang anak ini.
Selama kuliah di Duke University, dia aktif berorganisasi terutama organisasi Islam di kampus. Di situ ia menemukan fakta betapa beragamnya Islam di AS, semua mazhab ada, latar belakang sosial penganutnya juga beragam, begitu pula ragam etnisnya.
“Kita belajar menghargai keberagaman tersebut. Setiap organisasi keagamaan di Duke University mendapat bantuan dana dari kampus. Semua agama dapat, dari Kristen, Yahudi, hingga Islam, bahkan kelompok LGBT juga dapat. Di situ, saya belajar menghargai perbedaan, di sisi lain saya belajar bagaimana memproteksi keluarga dari hal-hal negatif,” paparnya.
Pada Agustus 2023, Widy menyelesaikan pendidikan S2 di Duke University dan kembali ke tanah air. Dia kembali bekerja di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta.
“Sebelum saya belajar ke Amerika Serikat, saya bertugas sebagai penyuluh yang melayani wajib pajak besar atau korporasi dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan. Lalu melaksanakan sosialisasi peraturan perpajakan kepada masyarakat dan wajib pajak. Ketiga, berkoordinasi dengan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak dalam pemberian masukan dan saran dalam pelaksanaan peraturan perpajakan,” papar Widy.
Setelah lulus kuliah dari AS, saya ditempatkan di Peraturan Perpajakan di PPH Badan terkait regulasi untuk wajib pajak badan atau korporasi. “Ketika saya merasa telah mempelajari dan menguasai seluk beluk akuntansi, saya diberi tantangan lagi untuk menguasai akuntansi dan perpajakan yang terkait dengan syariah.” “Berkaca dari semua pengalaman itu, saya merasa bersyukur atas apa yang Tuhan berikan pada saya. Kini, saya hanya berusaha memberikan pengabdian yang terbaik untuk masyarakat dan negara, itu saja harapan saya saat ini,” pungkas Widy mantap.