JAKARTA, FOKAL.ID – Dunia niaga tak seutuhnya sesuai aturan. Banyak praktik tak elok yang dilakukan para pelaku usaha, semata demi mendulang untung sebesar-besarnya.
Mulai dari niaga kecil di pasar tradisional yang kumuh dan becek, hingga niaga raksasa beromset puluhan bahkan ratusan miliaran yang berada dibalik kemegahan gedung-gedung pencakar langit nan sejuk.
Aneka cara dilakukan. Mulai dari mengurangi takaran, mengutak-atik timbangan, mencampur dagangan lama dengan yang baru, hingga berbagai praktik yang lebih ‘halus’ dan canggih. Tujuannya sama, meraup fulus sebanyak-banyaknya.
Kondisi perniagaan yang terjadi di hampir seluruh negara di dunia ini mengundang keprihatinan sejumlah mahasiswa Indonesia yang tengah menimba ilmu di Timur Tengah.
Pada 2005, mereka mengirim sejumlah tulisan terkait muammalah sesuai akidah dan syariat Islam di website www.pengusahamuslim.com.
“Tujuannya adalah edukasi dan informasi kepada masyarakat tentang bagaimana bermuammalah sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul,” kata Rachmat Surtanas Marpaung, Ketua Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI) kepada fokal.id di Sekretariat KPMI di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (3/10/2023).
Tulisan-tulisan mereka, yang kemudian menjadi pendiri KPMI, menarik minat masyarakat di Tanah Air. Banyak dari pembaca yang ingin mengetahui lebih jauh.
Hanya saja, kata Rachmat, tulisan di website tidak bisa dilakukan secara interaktif. Pada 2008, dibuat mailinglist (milist) [email protected]. Pada saat hampir bersamaan, dibuat pula akun yang sama di media sosial Facebook (FB).
Lewat milist, terjadi dialog interaktif antara penulis (pendakwah) dan masyarakat. Jumlah peserta meningkat pesat, utamanya setelah dibuatkan akun di FB.
“Pada 2009 diselenggarakan silaturahmi nasional (silatnas) pertama di Bogor. Saat itu anggota peserta tercatat 21 ribuan. Setahun kemudian, juga bertempat di Bogor, diadakanlah rapat kerja nasional dan dibentuklah KPMI,” kata pria alumni Inggris ini mengisahkan tentang awal mula berdirinya KPMI.
Visi KPMI
Terbentuknya pengusaha muslim yang berkualitas baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia.
Misi KPMI:
- Mempersatukan dan membina anggota dalam mengembangkan usaha sesuai dengan akidah yang lurus dan ketentuan syariat Islam serta mematuhi semua ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku di Republik Indonesia guna mencapai kesuksesan dunia dan akhirat.
- Sebagai Wadah utama bagi Pengusaha Muslim Indonesia untuk belajar tentang fiqih muammalah dan ekonomi syariah.
- Sebagai wadah komunikasi bagi Pengusaha Muslim untuk membicarakan dan mencari solusi atas masalah-masalah yang dihadapi dalam pengelolaan usaha.
Kini, setelah 13 tahun dibentuk, anggota KPMI mencapai 48.000 yang tersebar di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Menurut Rachmat, tak semua anggota KPMI adalah pengusaha. “Tak semua anggota KPMI merupakan pengusaha. Sekitar 40 persen di antaranya adalah calon pengusaha,” katanya.
KPMI sendiri merupakan lembaga yang berbadan hukum tetap berupa yayasan. Dan sejak dicetuskan pada 2010 silam, KPMI memiliki beragam kegiatan terkait edukasi dan bimbingan.
Beli Rumah Berkat Harga Poundsterling Meroket
Pada 1996, Rachmat terbang ke Inggris guna meneruskan studi di jenjang Magister. Ia merasa bersyukur sebab bisa menempuh pendidikan S2 di Inggris setelah mendapat beasiswa dari Pemerintah Inggris melalui Common Wealth of British.
Di Inggris ia mengambil studi dalam bidang Human Resource Managament (HRM) di Stanford Business School, Manchester.
Kuliah di Inggris memberi pengalaman baru bagi Rachmat. Satu kelas hanya 14 orang dan ia merupakan satu-satunya yang berasal dari Indonesia. Lainnya berasal dari Brunei, Amerika, Norwegia, Tanzania, Boswana, Malawi, Kenya.
Rachmat termasuk orang yang tak bisa berdiam diri. Selama satu tahun kuliah di Inggris, ia aktif
di PPI.
Hal yang tidak bisa dilupakan selama satu tahun belajar di Inggris adalah bahwa ia diajari bagaimana ia harus membiasakan diri dengan critical thinking dan selalu menghargai perbedaan pendapat. Lalu menjawab pertanyaan tidak dari satu sudut pandang saja.
“Jadi, untuk menjawab satu pertanyaan, kita harus meninjaunya dari berbagai teori dan mengkritisinya sehingga melahirkan jawaban baru milik kita sendiri. Sampai sekarang saya menjadi terbiasa dengan critical thinking,” katanya.
Pengalaman lainnya adalah bagaimana ia kemudian menjadi terbiasa dalam hal bergaul dengan beragam suku bangsa. Kebiasaan itu terbawa hingga sekarang ini ketika menjadi Ketua KPMI ia harus berkomunikasi dengan para stakeholder dari berbagai negara di dunia.
Setelah menyelesaikan studi di Inggris, pada akhir 1997 Rachmat pulang ke Tanah Air. Tak lama setelah kepulangannya, di tahun 1998 Indonesia dilanda krisis moneter (krismon).
Saat itu nilai rupiah melemah sangat tajam. Harga poundsterling yang selama ini Rp3.800 meroket ke angka Rp27.000.
“Pulang dari Inggris, saya bawa tabungan sekitar 1.500 poundsterling. Saya jual dengan harga Rp27.000 per 1 poundsterling. Hasil penjualan itu, langsung saya belikan satu unit rumah tipe 36 di kota Bandung, Jawa Barat,” kenang Rachmat.
Rumah itu menjadi rumah pertama yang dimiliki Rachmat. Tetapi, seiring berjalannya waktu, rumah ‘bersejarah’ tersebut sudah dijualnya. (hasanuddin)