Ayunda Eka Pratama, National Media & Communications Officer, International Organization for Migration (IOM), kian mantap berkarir di bidang yang sangat dinamis tersebut, selain karena pengalaman yang tidak singkat namun juga, mampu terlibat secara aktif dengan isu-isu pembangunan (development issues) yang inter-relasi dan pengaruh antara bidang begitu erat serta berkaitan satu sama lain.
Ayunda begitu menikmati dan bisa mencurahkan passion pada isu-isu development dari pada bidang lain. Oleh karena itu ketika mengambil master di University of Reading, Inggris, Ayunda mantap memperdalam subjek communication development studies dari pada ilmu komunikasi pada umumnya.
Menurut perempuan yang punya hobi memasak ini, ia sangat menikmati perannya sebagai jembatan untuk memonitor diskusi dan perdebatan sosial yang terjadi di publik demi memperkaya gagasan baru yang berujung pada formulasi kebijakan (policy making) demi kepentingan rakyat banyak. Karena itu dengan berbekal kultur pendidikan di Eropa yang kritis dan selalu mempertanyakan sesuatu yang sudah dianggap established, menjadi bekal baginya terlibat dalam menjalankan tugasnya sebagai professional komunikasi di badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tersebut.
“Berpikir kritis memungkinkan banyak alternatif paradigma berpikir dan melahirkan gagasan baru yang relevan dengan jamannya. Misalnya apakah kamu yakin dengan praktek pembangunan (development) model barat di terapkan di Asia. Pertanyaan kritis seperti itu membuat kita tak statis dan menikmati akrobatik diskusi sosial yang berkembang dalam ilmu pembangunan,” kata Ayunda. Dengan terlibat dalam komunikasi isu sosial tersebut, Ayunda yakin setidaknya bisa berkontribusi pada perubahan perilaku (behavioural changes) yang mungkin terjadi pada publik masyarakat atas apa yang diyakini benar selama ini.
Ini soal passion saja, karena itu ia tidak membedakan atau memandang rendah profesional komunikasi yang bekerja di bidang bisnis. Ia sendiri pernah bekerja sebagai profesional di beberapa perusahaan konsultan komunikasi dan public relations berkelas internasional seperti di Fortune PR dan Weber Shandwick, kemudian di Non-Governmental Organization (NGO) yaitu SOS Children Village.
Bekerja di berbagai organisasi, maupun perusahaan tidak membuat Ayunda puas diri secara intelektual. Ia melihat banyak dinamika sosial, budaya dan politik mutakhir yang harus diselami secara akademis untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Saatnya harus menambah ilmu yang lebih tinggi. Gayung bersambut, pemerintah Inggris yang rutin menawarkan beasiswa bagi profesional di seluruh dunia melalui Chevening Scholarship memberi pintu baginya untuk meraih kesempatan meraih pendidikan lebih tinggi setingkat master.
Pergulatan tak sampai di sana, karena harus memilih bidang studi yang sesuai, tidak semata-mata soal menempuh strata lebih tinggi, namun jauh dari karir yang telah dibangunnya cukup lama. Untuk itu, ilmu komunikasi yang diperolehnya di Universitas Indonesia dan bidang pekerjaan yang terlibat dalam urusan pembangunan harus dipadukan, peluang itupun ada di salah satu universitas terkemuka di Inggris. Bekal pengalaman sebagai profesional dan ilmu dari luar negeri ini membawa Ayunda berkarir di International Labor Organization (ILO), hingga akhirnya berpindah ke posisi sekarang di International Organization for Migration (IOM).
Bekerja di badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) seperti di ILO dan IOM, menurut Ayunda menghasilkan reward secara intelektual, karena bisa menikmati berbagai diskusi pro dan kontra tentang satu kebijakan dan pada ujungnya bisa menarik benang merah utama dari diskusi tersebut sehingga misalnya bisa membuat advokasi terhadap suatu isu, kemudian diusulkan ke pemerintah dalam rangka proses pengambilan kebijakan. Dengan cara itu, Ayunda secara tidak langsung terlibat dalam proses politik dalam arti mensejahterakan rakyat dalam lingkup negara.
Pola Makan Profesional Perkotaan
Ayunda mengambil tesis mengenai Eating Habit Professional di Jakarta dalam rangka penulisan tesis masternya. Temuannya sangat menarik, ternyata pola diet kelas menengah dan pekerja di Jakarta kurang sehat, bahkan tidak sehat. Mulai dari sarapan, hingga makan siang dan malamnya. Pola diet yang salah ini, mulai asupan hingga kebiasaan yang kurang sehat berakibat pada produktivitas, bahkan berakibat pada menumpuknya non communicable disease seperti jantung koroner, diabetes, kolesterol, kanker dan lainnya.
Ayunda melihat perhatian pemerintah pada isu obesitas, penyakit jantung, hipertensi dan lainnya masih disbanding misalnya dengan isu-isu stunting. “Padahal non-communicable disease seperti penyakit disebut di atas juga on the rise,” kata Ayunda. Ini semua menurutnya berasal dari kebiasaan makan dan makanan yang tidak sehat dari karyawan kantor. Padahal isu makan sehat itu seharusnya menjadi perhatian, sehingga tidak hanya bersifat kuratif tapi preventif.
Di waktu luang, Ayunda yang karena pekerjaan sering membawanya harus melakukan travelling ke berbagai tempat, tetaplah seorang istri yang melayani keluarga termasuk suami antara lain dengan mencoba memasak makanan yang berasal dari berbagai belahan dunia. “Suami selalu menjadi pencicip pertama. Dia sangat jujur terhadap rasa, kalau masakan habis dilahap suami itu tandanya berhasil dan enak,” tutup Ayunda sambil tertawa.