Nama Teddy Soeriaatmadja telah mengemuka sebagai salah satu sutradara film papan atas di Indonesia. Kesuksesan Teddy, tidak terlepas dari karya-karyanya yang luar biasa seperti Banyu Biru, Ruang, Lovely Man, About a Woman, Something in the Way, Menunggu Pagi, Berbalas Kejam, hingga Hubungi Agen Gue! Paling terbaru ia menggarap The Architecture of Love (TAOL) yang dibintangi aktor Nicholas Saputra dan aktris Putri Marino. Film terbilang sukses sebab telah ditonton oleh lebih dari 1 juta penonton.
Walau tidak memilik latar belakang pendidikan formal dan hanya belajar secara otodidak tentang film, ia telah membuktikan dirinya sebagai sutradara terbaik di ajang penghargaan nasional seperti Festival Film Internasional Balinale (2007). Ia memborong penghargaan Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Penulis Skenario Terbaik di ajang Festival Film Wartawan Indonesia 2021 lewat film Affliction. Tak hanya meraih penghargaan di level nasional, nama Teddy masuk ke dalam beberapa nominasi di ajang internasional, seperti Asian Film Award, hingga Osaka Asian Film Festival.
Belum lama ini, Majalah FOKAL berkesempatan bincang-bincang dengan sutradara yang merupakan lulusan S2 dari Newport University, London tersebut. Ditemui di kantornya, Teddy memaparkan bagaimana ia belajar tentang film lewat teman dan otodidak, pandangannya tentang industri film di Indonesia, hingga rencananya ke depan. Berikut petikan wawancara Majalah Fokal dengan sutradara kelahiran Kobe, Jepang tersebut.
Majalah Fokal: Apa yang memotivasi Anda terjun ke dunia film sebagai sutradara, meski sebelumnya telah bekerja sebagai pegawai kantoran?
Teddy: Sebenarnya kalau bikin film itu karena passion. Waktu kerja kantoran, saya kayak merasa, sempat bekerja setahun lebih, bukan di situ panggilannya. Jadi memang dari dulu passion saya di film. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencoba. Segala sesuatu kalau belum dicoba, kita tidak tahu hasilnya.
Tapi sebelum jadi sutradara, Anda sudah punya latar belakang pendidikan film?
Tidak ada. Pembelajaran saya tentang film lebih banyak dari nonton film. Cara saya menonton film berbeda, saya seperti terobsesi dengan detailnya. Saya benar-benar amati film yang ditonton, putar ulang, berkali-kali, maju mundur. Kala itu belum masuk ke era internet, sehingga tidak segampang kita belajar dari YouTube seperti saat ini. Jadi proses saya menjadi sutradara itu benar-benar otodidak, plus nekat dan akhirnya bisa.
Sewaktu di Inggris, saya mempunyai teman dekat yang kebetulan studi di sekolah film. Saya banyak belajar tentang film dari teman saya ini. Terus terang pembelajaran saya tentang sinema dari dia. Kami sering nonton film di bioskop hingga bagaimana dia mengerjakan tugas sekolahnya, saya amati dan pelajari.
Cuma lucunya, ketika kita berdua pulang ke Jakarta, dia tidak jadi sutradara sama sekali. Malah saya yang sekarang jadi sutradara film.
Dalam membuat sebuah film, apa yang menjadi sumber inspirasi Anda?
Untuk saya, inspirasi bisa datang dari mana saja. Bisa dari baca buku, bisa dari interaksi dengan teman, interaksi dengan keluarga. Jadi ada banyak sumber inspirasi untuk saya. Karena saya senang mengambil hal-hal kecil. Misalnya, dari hasil pembicaraan dengan teman saya, keluarga.
Selain menyutradarai, Anda juga menulis skenario film sendiri?
Biasanya, saya menulis skenario film sendiri. Kecuali film TAOL kemarin, penulis skenarionya adalah Alim Sudiodan Ika Natassa. Memang, jarang saya membuat film yang skenarionya bukan saya tulis sendiri. Untuk film TAOL, saya diminta menjadi sutradaranya dan saya hanya membantu di tahapan shooting draft saja.
Selama Anda berkarier sebagai sutradara dan menghasilkan karya, film apa yang menurut Anda paling menantang atau berkesan dalam proses produksinya?
Semua film pasti punya tantangannya masing-masing. Misalnya, waktu shooting yang pendek atau shooting dalam keadaan pandemi. Bagi saya, setiap film mempunyai tantangan dan memberi pelajaran baru. Tak ada film yang cuma begitu-begitu saja. Apalagi saya tidak punya latar belakang pendidikan film secara formal maka setiap film yang saya buat akan selalu memberi pembelajaran baru untuk saya.
Menurut Anda, mana yang lebih baik menghasilkan film yang sesuai idealisme atau membuat film yang booming sebab sesuai dengan selera pasar?
Intinya kalau membuat film ditujukan unuk penonton. Jika menggarap film yang meledak di pasaran atau booming rasanya senang juga. Cuma saya selalu percaya bahwa jika membuat film itu maka penonton pertamanya itu harus diri kita sendiri. Ketika kita mementingkan diri sendiri di karya kita maka secara tidak langsung kita akan menghasilkan karya bagus untuk penonton. Namun, bila kita membuat sesuatu by design buat penonton, biasanya hasilnya kurang bagus.
Intinya, kita harus membuat sesuatu dari passion kita, hati kita, dan bikin film sebagai sesuatu yang hendak kita tonton. Tapi kalau kita membuat film dengan orientasinya semata mengejar duit semata maka biasanya hasilnya tdak bagus. Saya selalu berpikir bahwa diri kita sendiri sebagai audiens pertama, penikmat film pertama dari karya film kita sendiri. Dengan begitu, hasilnya akan menjadi yang terbaik bagi penonton.
Bagaimana pandangan Anda tentang industri film di tanah air saat ini?
Saat ini kondisi industri film di tanah air tengah dalam kondisi yang bagus. Dari sisi jumlah penonton meningkat tajam, produksi film yang kian pesat, dan adanya proses regenerasi sutradara yang berjalan bagus sebab banyak muncul sutradara muda bermunculan, produser-produser baru, hingga rumah produksi yang baru-baru. Begitu banyak bermunculan para aktris dan aktor muka baru di kancah industri film Indonesia.
Sesungguhnya saat ini merupakan exciting time for industri film Indonesia tengah berada dalam kondisi bagus. Setelah pandemi, kondisi industri film tanah air justru jadi lebih baik. “We have very strong hope”, bahwa era yang bagus ini akan berkelanjutan ke depan.
Anda pernah membuat satu film thriller seperti Berbalas Kejam dan Affliction. Apakah ke depan, Anda punya rencana untuk membuat film bergenre horor?
Ada keinginan saya untuk membuat film bergenre horor di masa mendatang. Namun, sejauh ini belum ada cerita atau skenario yang pas bagi saya untuk digarap menjadi sebuah film horror. Saya ingin mencoba juga membuat karya film horor.
Ke depan, dalam waktu dekat, apa proyek yang akan Anda kerjakan?
Sebenarnya di tahun 2024 ini, saya akan merilis satu film. Proses shooting dan produksi film sudah selesai dan rencananya saya akan merilis film di akhir tahun. Judul filmnya adalah “Mungkin Kita Perlu Waktu” .
[Penulis: Abhyudaya Wisesa]